Cari di Sini

Jumat, 18 November 2011

Kenali dan Hindari Kicauan Kena Doping



Telah menjadi rahasia umum bahwa banyak kicauan yang masuk ke arena lomba dengan didoping terlebih dahulu. Mendoping burung ada yang menggunakan jenis-jenis obat/benda tertentu yang mengandung zat adiktif seperti halnya amfetamin, amobarbital, flunitrazepam, diahepam, bromazepam, fenobarbital, alkohol atau halusinogen. Atau, dulu sebelum jaman sabu-sabu populer, ada yang menggunakan beberapa bentuk meth dan kokain yang dikenal, misalnya, sebagai Crank, Speed, Bennies, Rock, Kristal, dan Crack.

Pada awal 1990-an, satu bentuk metamfetamin dikenal sebagai Kristal Meth atau Ice, dan di Indonesia sebagai sabu-sabu. Sabu-sabu dua sampai tiga kali “lebih manjur” daripada sebagian besar amfetamin lain. Sabu-sabu membangkitkan secara dramatis 'pasaran speed'. Dan inilah salah satu “doping” yang juga merambah dunia kicauan.

Efek dari penggunaan sabu-sabu untuk kicauan memang luar biasa (Btw, soal cara, dosis dan sebagainya, tidak etis dan ilegal kalau dibahas berkelanjutan). AM yang kena sabu misalnya, bisa teler 3-4 jam non stop kalau tidak diturunkan dan digubrak2 oleh majikannya. Hal ini tidak mengherankan karena manusia pengguna sabu-sabu saja mengaku sabu-sabu memberikan mereka lebih banyak tenaga dan kekuatan; membuat mereka tahan tidak tidur selama 24 hingga 48, bahkan 72 jam. Mereka menyatakan juga sabu-sabu membantu mereka berpikir lebih jelas, dan menjadi lebih lihai dan sebagainya dan sebagainya.

Kapan doping diberikan?

1. Burung yang didoping biasanya adalah burung yang akan dilombakan.
Orang Solo, saya tidak perlu menyebut nama dan alamat persis (karena sekarang yang bersangkutan juga sudah menjadi “TO” orang-orang kicauan yang menjadi korban) selalu mendoping burung-burungnya yang akan dilombakan. Awalnya memang hanya sedikit. Tetapi dari yang sedikit-itu, lama-lama dosisnya harus ditambah. Percaya tidak percaya, dia sampai memberikan satu butir pil ekstasi (saya tidak tanya jenis dan nama persisnya) ketika akan melombakan burungnya pada suatu ketika di masa lampau di Piala Kapolri (Semarang).

Kebetulan, burung yang dia doping dan dibawa ke lomba adakan dua AK. Satu AK-nya menyabet juara II dan saat itu laku dijual Rp 125 juta (ingat kan masa-masa keemasan AK?) Dan satu AK-lainnya, mati terkapar dengan paruh mengeluarkan buih sekitar 10 menit setelah dicekoki pil setan. Jenazah AK dengan harga beli Rp 20 juta itu lantas dibuang begitu saja di tempat sampah.

Saat itu terjadi dialog antara dia dengan jokinya dalam bahasa Jawa, yang Indonesianya kira-kira begini:
“Wah.... bos, AK-nya mati,” seru si joki.
“He? Yang mana?,” sahut si bos.
“Si... ,” jawab si joki menyebut nama AK itu.
“Wah dosisnya kebanyakan,” komentar si bos yang terdengar tanpa rasa sesal.
“Saya kan sudah bilang, itu tadi kebanyakan bos,” sesak si joki.
“Lha gimana lagi, kalau seperti ukuran lama sudah nggak mau kerja lagi kok,“ si bos membela diri.
“La gimana ini?”
“Ya buang saja. Nanti kalau AK yang satu mau kerja, dijual aja. Soalnya dosisnya juga sudah harus banyak,” kata si bos.
Dari dialog itu jelas-jelas tergambar bahwa AK yang didoping, makin hari harus semakin banyak takaran doping yang harus diberikan agar bisa “kerja” seperti sebelum-sebelumnya.

2. Burung yang akan dijual
Doping juga diberikan untuk burung yang akan dijual dan biar terlihat luar biasa ketika dipantau calon pembeli. Burung yang biasa tampil bagus, kadang-kadang banyak polah karena sedang birahi memuncak. Burung birahi memang bagus disebabkan oleh karena birahinya itulah burung gacor berkicau. Tetapi agar tidak banyak ulah dan langsung tokcer ketika mau dipantau calon pembeli dan akan segera ditransaksikan, ada penjual yang tega mendoping si burung.

Mengenali burung dopingan

1. Burung dopingan terlihat seperti burung sakit ketika pengaruh doping melemah. Bulu mekruk tidak rapi. Dalam kondisi yang belum terlalu sakaw dan masih kuat bunyi, dia biasanya mengeluarkan bunyi ciap, atau krek atau apalah yang sangat monoton tapi keras dan khas dengan interval 1-2 menitan.

Jika tidak “dibantu” oleh doping lagi, kondisinya benar-benar sakit dan benar2 terlihat seperti burung sakit yang megap-megap atau terengah-engah.
Efek pemberian doping untuk burung yang baru sekali-dua kali kena doping biasanya bertahan sampai 3-4 hari. Untuk burung yang terbiasa doping, 1-2 hari. Dan untuk “meningkatkan daya tahan” sampai 3-4 hari atau lebih, takaran doping ditambah.

2. Burung dopingan, meski terlihat sehat dan gacor, terlihat berair di kelopak mata bagian bawah.

3. Burung dopingan, meski terlihat sehat dan gacor, kaki atau sayap sering terlihat bergetar.

4. Burung dopingan, meski terlihat sehat dan gacor, tidak menunjukkan rasa tertarik akan datangnya burung lawan jenis.

Memulihkan burung dopingan

Kalau kebetulan Anda terjerumus dan telanjur membeli burung dopingan (kelihatan sakit tetapi tidak juga cepat mati dan tidak juga sembuh meski sudah diberi obat2an, entah itu antibiotik atau hanya sekadar vitamin/suplemen dsb) maka ya nasib....Mengapa?

Secara umum, burung yang sudah kena doping sulit untuk dipulihkan kembali karena doping sendiri sifatnya adiktif, membuat kecanduan dan membuat ketergantungan. Logikanya, kalau mau menyembuhkan ya diberi lagi doping dengan secara perlahan dikurangi dosisnya. Tetapi, darimana mendapatkannya? Alih-alih kondisi burung bisa pulih, Anda malah sudah ditangkap polisi karena membeli benda terlarang.

Kalau belum sedemikian parah kondisi ketergantungan si burung (mungkin hanya diberi sekali dua kali, meski dampaknya juga juga sudah sangat terlihat ketika tidak diberikan lagi, yakni burung terlihat sakit2-an) maka rawat saja seperti biasa dengan full-EF.

EF apa saja yang didoyani si burung. Kalau suka kroto, ya full kroto. Kalau suka jangkrik, ya full jangkrik. Jika masa itu bisa terlewati sampai masa ngurak dan mabung, maka ada kemungkinan burung Anda sudah terbebas dari ketergantungan obat.

Semoga bermanfaat. (Mohon koreksi atau masukan jika ada pendapat atau pengalaman yang berbeda)

Sumber: omkicau.com dan kicaumania.org

PRODUK BURUNGGACOR.COM

ARTIKEL TERBARU

Tidak ada komentar: