Cari di Sini

Jumat, 17 Mei 2013

Selamat Datang Tamu dari Jauh



Hari cukup cerah saat kendaraan yang membawa kami merayap di Jalan Raya Puncak. Setelah kelokan tajam selepas Masjid At-Taawun, kami berbelok tepat di tikungan tapal kuda, memasuki pertigaan di sisi kanan jalan.


“Jalan batu yang dilapisi aspal hotmix itu mengantar kami ke sebuah puncak bukit datar, dikelilingi kebun teh. Bukit itu begitu strategis, dari atasnya terlihat bentang alam kawasan puncak yang diapit Gunung Mas dan Gunung Pangrango. Orang-orang menyebutnya Bukit Paralayang, karena menjadi lokasi kegiatan paralayang yang cukup terkenal di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Peralatan pengamatan segera kami keluarkan begitu tiba di Bukit Paralayang ini. Ada binokuler, buku panduan, juga dua buah tripod yang kami tegakkan di tempat strategis sebagai dudukan monokuler. Kamera, yang berfungsi sebagai dokumen saksi perjalanan, dibawa serta.

Sikep-madu asia
Tujuan pengamatan kami ini memang membidik burung pemangsa (raptor) yang bermigrasi. Ketika musim dingin di utara khatulistiwa (September hingga November), burung-burung ini bermigrasi dari tempat berbiaknya dan kembali pada musim semi (Maret hingga April). Biasanya, burung pemangsa seperti sikep-madu asia (Pernis ptilorhynchus) sering terlihat melintas di kawasan puncak kala musim migrasi.

Sikep-madu asia bukan satu-satunya burung pemangsa yang terlihat di kawasan ini. Elang buteo (Buteo buteo) adalah jenis burung pemangsa lain yang bermigrasi dan umum terlintas di kawasan Puncak. Jenis elang yang ukurannya lebih kecil seperti elang-alap nipon (Accipiter gularis) dan elang-alap cina (Accipiter soloensis) terpantau juga.


Pagi itu, ketika awan hujan mulai bergeser dan matahari kembali bersinar, dua ekor sikep-madu asia terlihat berputar. Gagah mengitari angkasa, memanfaatkan panas bumi. Gerakan membubungnya (soaring) sungguh menawan. Sebuah atraksi melingkar ke atas yang secara perlahan membuatnya makin lama makin tinggi. Hingga pada puncak tertentu, ia meluncur (gliding). Teknik ini, lazim digunakan burung pemangsa saat melakukan perjalanan jauh.

Kami gembira dengan kehadiran “tamu tanpa pasport” tersebut. Pendatang dari utara itu menjadi pengunjung tetap di seluruh kawasan Sunda Besar hingga Wallacea saat musim dingin. Sembari menunggu kehadirannya dalam jumlah banyak, kami coba menyelisik ragam jenis burung yang ada di sekitar.

Puncak Paralayang
Seekor cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) tampak bertengger di sela dedaunan. Cantik, meski suara nyaringnya ”cuk-cuk” belum terdengar. Begitu juga layang-layang rumah (Delichon dasypus) yang terbang rendah di atas hamparan perkebuan teh. Sebagaimana namanya, burung kecil pendatang dari utara ini begitu lincah pergerakannya. Menangkap serangga dan terbang berbaur dengan walet atau jenis layang-layang lain adalah kebiasaannya.

Sesaat, kami arahkan kembali pandangan ke langit biru. Tetapi, yang terlihat kali ini bukanlah burung sungguhan, melainkan paralayang: burung parasut berukuran sekitar sepuluh meter yang diawaki manusia. Olahraga yang memanfaatkan angin ini telah mewujudkan keinginan manusia untuk mengudara.

Dalam paralayang ada dua tipe hembusan angin yang digunakan untuk mengembangkan parasut. Angin bergerak ke atas karena menabrak lereng pegunungan yang diistilahkan dynamic lift dan angin yang bergerak ke atas karena panas dan bersentuhan dengan tanah (dipanaskan matahari) atau thermal lift. Dengan dua jenis angin tersebut, penerbang dapat membubung tinggi di angkasa atau bisa melayang sejauh mungkin.

Menurut penuturan David Agustinus Teak, burung merupakan sumber inspirasi olahraga jelajah udara tanpa mesin ini. Istilah soaring yang digunakan dalam kegiatan yang dulunya bernama terjun gunung ini, maknanya tidak berbeda dengan apa yang ada dalam kamus migrasi burung.

Penasaran
Hujan turun jelang tengah hari. Rasa penasaran kami melihat pengembara yang menggunakan koridor daratan timur sebagai rute perjalanannya ini masih tersisa. Kami masih terkesan dengan penelitian yang dilakukan Hiroyoshi Higuchi, PhD, profesor dari Graduate School of Agricultural and Life Sciences, Universitas Tokyo dan kawan-kawan tentang jalur migrasi tiga ekor sikep-madu asia yang dipasangi pemancar satelit.

Masing-masing, seekor jantan dan betina dewasa serta seekor sikep-madu asia muda bergerak meninggalkan tempat berbiaknya di Jepang melintasi Laut Cina Timur menuju Delta Chang Jiang lalu ke Cina. Selanjutnya mereka terbang melalui daratan ke Vietnam, Laos, Thailand, semenanjung Malaysia, dan menuju Sumatera. Dari Sumatera, mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur laut menuju Kalimantan, dan tiba di Mindanao (Filipina) sebagai wintering site-nya.

Wintering site merupakan lokasi persinggahan burung-burung tersebut melewatkan musim dinginnya, setelah mereka meninggalkan tempat berbiaknya (breeding site). Ketika musim gugur tiba, mereka kembali melakukan perjalanan pulang, yaitu ke tempat berbiak asal.

Untuk sesaat, kami berteduh di warung terdekat. Dari sini, sembari menikmati makanan kecil, kami melihat panorama sekeliling. Ada pedagang kacamata yang membereskan barang bawaannya agar tidak basah. Ada fotografer lokal yang terus menawarkan jasa potret langsung jadi (cetak). Ada juga rombongan berkebangsaan Persia yang terbagi dalam beberapa kelompok, berkerumun di pos pendaftaran paralayang. Sebagian dari mereka ngotot antri meski jadwal terbangnya ditunda akibat cuaca yang tidak memungkinkan. Meski basah, Puncak Paralayang tetaplah indah.

Dua jam lebih kami menunggu, hingga hujan benar- benar reda. Terngiang di telinga kami akan ucapan Opa David tentang kawasan Puncak dan sekitar yang belakangan sering diguyur hujan. Opa Paralayang Indonesia ini juga bercerita tentang migrasi burung yang menurutnya tahun 2007 merupakan momen terindah. Kala itu, sekitar Oktober, langit cerah dan burung terlihat jelas yang jumlahnya mencapai ratusan ekor. “Mereka melintas dalam beberapa kelompok” terangnya.

Perlahan, semburat merah mentari di cakrawala memberi tanda pada kami bahwa inilah saat yang tepat melanjutkan pengamatan. Sebelum melangkah, kami sempat mengamati sepasang kacamata gunung (Zosterops montanus) bertengger di ranting, asik berjemur sembari mengibaskan sayapnya. Burung kecil berwarna kuning kehijauan ini tidak menyadari bila sedari tadi tingkahnya diawasi beberapa pasang mata dari balik binokuler.

Di angkasa, tiga ekor sikep-madu asia tengah berputar. Terbang lebih tinggi dari yang kami lihat sebelumnya. Agaknya, pengunjung dari Asia ini dengan sayapnya yang membentang, sudah tidak sabar untuk melanjutkan perjalanannya.

sumber: www.burung.org 

PRODUK BURUNGGACOR.COM

ARTIKEL TERBARU:

Tidak ada komentar: